Haruskah
aku menerima kenyataan yang tak pernah sekalipun terlintas di benakku, aku
hanya ingin disampingmu tak peduli seperti apa dirimu. Tapi mengapa kau pergi
tanpa mengucapkan sepatah kata atau pelukan hangat, hanya isyarat yang tak
pernah aku mengerti. Kau pergi dan tak pernah akan kembali untuk menengok aku
yang tak berdaya lagi, haruskah aku terpuruk karena ini. Suara tangis dan
teriakan histerisku tak membuatmu kembali dan menggenggam tanganku, hanya
membuat luka yang semakin besar di hati.
Kepergianmu
tak merubah apapun kecuali penderitaan yang taka da ujung, menyisakan kosongnya
posisimu untuk menunggu. Aku tau penantianku akan sia-sia dan pasti tak berguna,
ketakwarasanku melupakan hal logika, hanya ingin kamu. Posisi ini tak akan ada orang
lain yang menempati walau itu kemauanmu, aku menolak. Aku tak sanggup
memikirikan apa yang terjadi ketika orag lain menduduki tahtamu, akankah sama
sepertimu atau merupakan penyesalanku.
Maafkan
karena aku tak mampu untuk memberikan tahta ini untuk orang lain, aku takut. Ketakutan
yang selalu terbayang di benakku hingga aku ingin melarikan diri, pergi. Aku rindu
sosokmu yang hangat, penyayang, aku rindu semua tentang dirimu. Jika suatu saat
nanti aku berikan tahta ini dengan suka rela kepada orang lain, maka orang lain
itu hanyalah kamu atau kamu kelahiran selanjutnya.