Kamis, 21 November 2019

Sosokmu, Tahtamu, Kerinduanku

Haruskah aku menerima kenyataan yang tak pernah sekalipun terlintas di benakku, aku hanya ingin disampingmu tak peduli seperti apa dirimu. Tapi mengapa kau pergi tanpa mengucapkan sepatah kata atau pelukan hangat, hanya isyarat yang tak pernah aku mengerti. Kau pergi dan tak pernah akan kembali untuk menengok aku yang tak berdaya lagi, haruskah aku terpuruk karena ini. Suara tangis dan teriakan histerisku tak membuatmu kembali dan menggenggam tanganku, hanya membuat luka yang semakin besar di hati.

Kepergianmu tak merubah apapun kecuali penderitaan yang taka da ujung, menyisakan kosongnya posisimu untuk menunggu. Aku tau penantianku akan sia-sia dan pasti tak berguna, ketakwarasanku melupakan hal logika, hanya ingin kamu. Posisi ini tak akan ada orang lain yang menempati walau itu kemauanmu, aku menolak. Aku tak sanggup memikirikan apa yang terjadi ketika orag lain menduduki tahtamu, akankah sama sepertimu atau merupakan penyesalanku.

Maafkan karena aku tak mampu untuk memberikan tahta ini untuk orang lain, aku takut. Ketakutan yang selalu terbayang di benakku hingga aku ingin melarikan diri, pergi. Aku rindu sosokmu yang hangat, penyayang, aku rindu semua tentang dirimu. Jika suatu saat nanti aku berikan tahta ini dengan suka rela kepada orang lain, maka orang lain itu hanyalah kamu atau kamu kelahiran selanjutnya.

Minggu, 03 November 2019

Formalitas

Terbesit bayangan ketika masih bisa tertawa lepas dan tersenyum bahagia, disaat semua tidak ada kepura-puraan. Bayangan-bayangan ketika masih bisa berlari dan membuat mimpi yang tinggi, merasakan hangatnya dunia. Terkadang pemikiranku menjadi kelabu, kadang juga menjadi hitam legam, gelap tanpa titik putih.

Ketika berbaur mencoba mengisi kebahagiaan hati, namun hanya mengalir dari lobang-lobang ventilasi. Pintu dan jendela sudah terkunci, telah habis terbakar dengan kobaran api yang menyala tiada akhirnya. Tiada setetes air matapun yang dapat memadamkannya, sudah hancur dan terlanjur sangat panas.  Semua senyum dan tawa yang terukir, hanya formalitas yang menyakitkan. Sangat ingin meneriaakan kata benci dan tak terima. Sangat ingin menghepaskan diri pada kobaran api nyata, dan mati. Meninggalkan kepura-puraan dunia fana, tiada lagi berjumpa dengan berbagai hubungan sebatas formalitas.

Pernah merajut impan, mengatakan impian, berkata kejujura, namun semua hanya sebuah angin lalu yang dihirup lalu dikeluarkan layaknya hembusan nafas. Pernahkah berpikir betapa sakitnya hati, betapa lukanya diri. Terlalu bodoh diriku yang tak melihat kenyataan yang jelas didepan mata, selalu mengharapkan  yang tidak akan terjadi.  Aku selalu berkata aku baik-baik saja, sangat baik-baik saja. Mereka yang mendengat kata-kata ini apa mereka peduli padaku? tidak, mereka tidak mau tau. Aku tak pernah sadar siapa diriku, bagaimana diriku, dan aku. 

Telah terlukis jalanku dari permulaan hingga akhir nanti, hanya diisi oleh formalitas dunia. Untuk apa aku mengharapkan yang lain?. Ketulusan, kebahagiaan? omong kosong yang selalu terngiang pada mimpi-mimpi indah yang tak bergambar. Persahabatan? Tidak akan pernah tertulis di jalanku ini, semuanya hanya semu dan berwarna abu yang tak ada kejelasan, hanya formalitas.

~R_Hr~